Hardiknas 2011

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu diperingati pada tanggal 2 Mei, memang tidak lagi sekadar momen mengenang tokoh perintis pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Akan tetapi menjadi tonggak refleksi dan revitalisasi pendidikan di Indonesia. Meski kita mencatat, sepuluh tahun terakhir ini, Hardiknas juga diwarnai dengan demo protes yang cenderung anarkhis - terhadap kondisi pendidikan nasional. Terutama dalam beberapa kebijakan. Tahun 2011 ini, Depdiknas mengambil tema: Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa,
subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Tema yang terdengar tak lagi asing bagi telinga masyarakat pendidikan Indonesia. Sebab itulah substansi dasar dari benih pendidikan Indonesia yang ditebar oleh Ki Hadjar Dewantara. Sebenarnya, kita tidak ‘lupa’ bahwa pendidikan yang menjadi dasar adalah untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, afeksi atau karakter), pikiran (kognisi) dan jasmani (fisik) sehat. Tetapi, mengapa hal itu nampak makin samar bahkan larut oleh arus model pendidikan ala manca - yang lebih berorientasi pada kognisi semata? Kondisi akhir-akhir ini perlu ditengarai sebagai ‘dampak’ bergesernya makna dan tujuan (sistem) pendidikan kita. Munculnya perilaku destruktif , anarkhis dan radikalis - dapat dirunut sebab-akibatnya melalui aspek pendidikan. Kekerasan yang sangat menjauh dari makna dan manfaat pendidikan dalam pemahaman pedagogis. Rencana Kemendiknas mengembalikan’ semua itu dalam bentuk realita pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi termasuk kalangan pendidikan nonformal dan informal mulai tahun 2011/ 2012 - layak diapresiasi sebagai revitalisasi dan rekonstruksi atas kondisi pendidikan yang ada selama ini. Karut-marut pendidikan yang tak berujung - selalu mendapat sandungan pada kusutnya makna kualitas pendidikan. Ironisnya, kita justru terperosok dalam pemahaman kuantitatif dan kognitif yang disimbolkan dalam nilai-nilai ujian. Mereka yang meraih nilai tinggi, dianggap lebih berkualitas. Sejauh itu, sebenarnyalah pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Bahkan dapat dibilang bagaikan dua sisi mata uang yang harus seiring sejalan. Oleh karena itu, mengembalikan Pendidikan kembali berpasangan dengan Kebudayaan, merupakan langkah yang sangat strategis. Kebudayaan bukan berpasangan dengan Pariwisata yang lebih bersifat ekonomis. Kebudayaan adalah pendidikan tentang budaya yang akan langsung menukik pada jantung permasalahan karakter bangsa. Kita mencatat pernah memiliki Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, seperti halnya United Nation on Education Social Culture Organization (UNESCO). Tonggak 100 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang masih 34 tahun lagi, dapat dimaknai sebagai tumbuhnya satu generasi lagi. Satu kurun yang ideal untuk mengolah anak bangsa menjadi bukti sejarah bahwa bangsa kita mampu merdeka dan membangun bangsa-negara yang sejahtera melalui pendidikan yang berkarakter. Kita tahu, ini merupakan pekerjaan besar. Terpaan gelombang globalisasi telah mengombang-ambingkan semua lini kehidupan. Oleh karena itu, jangan menjadi bangsa yang selalu terlambat. Cepatlah bertindak
disadur dari Kedaulatan Rakyat