Darma Ayu Nagari
I N D R A M A Y U
Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa
Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumber
daya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu
menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh
Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak
(abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah
yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat
yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian,
perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan
realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang
“bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa
Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”.
Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu
berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon
dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai
Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam.
Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa
politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis.
Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran
agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan
Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya
Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran
pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu
saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah
kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya
Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram
menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat
jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang,
Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten
Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu
dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24
Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari
nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik
sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun
1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di
beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali
Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata
(rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang
Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden
Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden
Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber),
Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu,
sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam
Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati
dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):
Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu
adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada
benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah
yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar,
sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan
bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah
ini sudah ada manusia yang berbudaya.
Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung
identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu,
hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain
memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula.
Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah
“Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab
dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan
Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Raja-raja di Bumi Nusantara, parwa 2
sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan
menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh
Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng
Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki
Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data
seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam
yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan
tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut.
Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak
memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di
wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom
dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng
Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah
masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara
pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan
Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain
pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di
Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku
Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden
Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga
Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran
Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan
sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa
kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari
Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di
Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007).
Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten
Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati
Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling
merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia
tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya
seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati
Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama
Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya
hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang
dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di
Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di
Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak
Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim,
makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran
Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).
Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan
Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir.
Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke
pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan
Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat.
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa
yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini
masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya)
masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng,
perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita
sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula
penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat,
masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian
kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004)
malah ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal
bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja
Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur
Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti
(sebelah utara).
Akan halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita
tradisional Cirebon dalam episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari
Cina yang beragama Islam. Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa
Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A.
Dasuki, 1977). Dalam perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki
Gedeng Junti, tetapi cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki
Gedeng Junti menolak halus lamarannya, kemudian membuat strategi dengan
mengadakan sayembara. Jika Dampu Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya
dua meter dan tingginya tiga meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti
dalam waktu satu malam, lamaran itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan
akalnya. Ia umumkan kepada rakyat untuk menaburkan emas di tembok bambu itu.
Rakyat berebut emas dengan berbagai cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki
Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan
Syeh Bentong, seorang wali di Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan
bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh
Bentong menikah dengan Putri Junti, selanjutnya rakyat Junti memeluk agama
Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.
Kronologis dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi
di mana-mana. Ada tema cinta ditolak, strategi menolak lamaran secara halus,
dan waktu semalam sebagai syarat lamaran diterima. Pada legenda
Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian. Syarat cinta diterima itu adalah agar
dibuatkan sebuah perahu dalam waktu semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang
minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.
Perspektif lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama
sekali daerah Junti. Tahun 1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang)
bersama istrinya, Nhay Rara Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama
pula Nhay Aci Putih dan Nhay Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura
(nama salah satu negeri di Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang
atau Muara Bondet atau dari Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat,
Celangcang adalah pelabuhan zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata
nyangcang, artinya mengikat atau menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu
Dampu Awang, karena lebih besar dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo,
1983).
Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan
pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti
sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869.
Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan
sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah
Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai
pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari
bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa
yang perkasa.
Abad XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah
Jawa, terhimpit antara dua bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya:
arkeologi Jawa dan sejarah kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah
kerajaan Islam, menjauhi masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih
tertarik pada sejarah tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya
beberapa orang saja, seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua
masalah dari masa yang gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).
Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama
Dermayu mulai digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian
wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad
ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan
(regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon,
Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van commissarissen-general over
Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi
sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di
Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di
Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar
Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut
sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan).
Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu
sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara
Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan
lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah
masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural
Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan
emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis
kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling,
topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir
Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati
kesenian Sunda.
Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah
Indramayu sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu
Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan
Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga
kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten
Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh
kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga
Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang
memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin
hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang nDermayu.
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat,
yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan,
dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah
(Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai
“urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke
wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun
waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng,
Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat
memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan
ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah
kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan
logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan
Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi
kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan
tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa
Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan
dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya
bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan
tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda
sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan
terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki
keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara
seperti Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih
(Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan
daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan
Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh
dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung
Mataram yang berhasil menguasai antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620
(Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nur Arofah, 2004).
Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di
Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak
pada kultur yang masih lekat hingga kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih
pada kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal
dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun
waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai
puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat
F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah
kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda,
seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat
dikendalikannya pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan
lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara
arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai
Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat
nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan
dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan
keberadaan masa lalu itu.
Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir
Indramayu yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai
114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin
menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama
dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih
jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan
Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan
(Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di
Panjunan (Cirebon).
Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif
Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah
putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul
Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama
panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah
liat.
Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam,
membangun mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat
barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut
panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan
penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah
tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di
sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).
Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit
menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga
menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan,
misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa Timur,
yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi
kerajaan besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa
dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada
abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung
Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di
daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan
Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay
Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977;
Sunardjo, 1983).
Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini,
sekali lagi, bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari
benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar
Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang
pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh,
Banten, Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang
tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan
sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir
naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan
yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng,
yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang
tegas dengan sumber-sumber primer.***
Download Lagu
Kidung Bumi Segandu
Bumi Alam Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar